BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an dan al-Hadits merupakan
pedoman asas bagi umat islam. Setiap tindakan orang muslim haruslah sesuai
dengan tuntutannya atau setidaknya tidak bertentangan dengan keduanya. Akan
tetapi untuk memahami maksud yang terkandung dalam kedua sumber asas tersebut
tidaklah semudah yang kita flkirkan dengan akal, tetapi memerlukan ilmu dalam
membantu menjelaskan kesamaran dan menyingkap maksud-maksud al-Qur'an dan
al-Hadits. Salah satu ilmu tersebut adalah ilmu ushul fiqh.
Oleh karena itu, suatu pembahasan usul
fiqh yang dapat membantu mengenali kejelasan suatu makna dalam al-Qur’an dan
al-Hadits ialah mujmal dan mubayyan. Pembahasan mengenai ini sangat penting
karena untuk mendapatkan pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas
mengenai suatu makna perkataan yang diteliti. Dengan mengetahui mujmal dan
mubayyan ini, kita dapat mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut karena masih bersifat umum dan jelas
sehingga maksudnya dapat diuraikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan mujmal?
2. Apa
yang dimaksud dengan mubayyan?
C. Tujuan Masalah
1. Dapat mengetahui dan memahami materi mujmal.
2. Dapat mengetahui dan memahami materi mubayyan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mujmal
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar
dan beragam atau majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak
dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan.
Dapat juga dimengerti sebagai lafaz yang global, masih membutuhkan penjelasan
(bayan) atau penafsiran (tafsir). Seperti pada Al-Qur'an Surat An-Nur ayat 56,
yang masih memerlukan penjelasan tentang tatacara.[1]
“
dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat.” (QS. An Nur : 56).
Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di
atas masih mujmaI atau belum jelas karena tidak diketahui tata caranya, maka
butuh dalil lainnya untuk memahami tata caranya. Dan Kata ”menunaikan zakat”
dalam ayat di atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk
memahaminya masih diperlukan dalil lainnya.
Apabila terdapat lafadz mujmal pada nash
syari’ sebelum ditafsirkan oleh syari’ itu
sendiri, untuk itu dikemukakan oleh sunah amaliah dan qouliah, menafsirkan
sembahyang dan menerangkan rukun-rukunya, syarat-syaratnya dan cara-carnya.
Kata Nabi SAW, sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku sembahyang.
Demikian juga nabi menafsirkan
zakat dan segala hal yang dikemukakan oleh secara mujmal oleh nash Al-Quran.
Mujmal dalam bahasa adalah global atau
tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang tidak bisa dipahami
maksudnya, kecuali bila ada penefsiran dari pembuat mujmal.
Mujmal adalah lafaz yang tidak dapat
dipahami dari lafaz tersebut ketika menyebut sesuatu, tetapi dipahami dari
lafaz tersebut lebih dari satu hal dan tidak ada spesifikasi atas hal tersebut
jika dibandingkan dengan yang lain. Dengan kata lain, mujmal adalah sesuatu
yang tidak gamblang dalalah-nya dan yang dimaksud bahwa mujmal itu adalah lafaz
yang memiliki dalalah, tetapi dalalah tersebut tidak jelas. Kadang-kadang itu
terjadi pada lafaz tunggal yang musytarak, bisa jadi di antara dua hal yang
berbeda, seperti Al 'ain untuk emas serta matahari dan Al-Mukhtar untuk fa'il dan
maf'ul. Selain itu, untuk dua hal yang saling bertentangan, seperti Al
quru' untuk suci dan haid. Kadang-kadang,
terdapat pada lafaz yang tersusun, seperti firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah:
237.
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ
عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا
الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah:
237)
Pada ayat ini ada keraguan antara suami
dengan wali. Kadang-kadang terjadi karena keraguan pada tempat kembalinya
dhamir pada yang sebelumnya, karena pernyataan Kullu maaf 'allamahul faqiihu
fahuwa kamma 'allamahu. Dhamir pernyataan tersebut mengandung keraguan antara
kembali pada faqih atau pada yang diketahui dari faqih tersebut. Kadang-kadang
hal tersebut terjadi karena keluarganya lafaz dari urf Syara' sebagai mana yang
di tetapkan kan dalam bahasa bagi yang menyatakan hal itu, tentu sebelum ada
penjelasan pada kita sebagai mana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah: 53.
وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ
وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada
Musa Al Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan
yang salah, agar kamu mendapat petunjuk. (Al-Baqarah:
53).
Dan
Q.S Ali-Imran: 37
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ
حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ
عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ
أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ
مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar)
dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan
Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui
Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai
Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab:
"Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
(Q.S Ali-Imran: 37).
Firman Allah ini merupakan firman yang mujmal karena pada
lafadz itu tidak ada informasi tentang apa yang dimaksud Melalui
aktivitas-aktivitas yang telah ditentukan. Oleh karena itu, sebagai suatu
kewajiban, lafaz tersebut mujmal sifatnya. Adapun yang dimaksud
dengan tidak adanya kejelasan adalah tidak ada kejelasan berdasarkan dalam
bahasa, bisa dengan penetapan (bahasa), dengan syara', atau dengan urf. Maka,
suatu lafaz tidak bisa dipahami ketika menyebut sesuatu tertentu, bahkan
dipahami lebih dari suatu hal dan tidak ada perbedaan dengan hal lain menurut
orang arab, baik dengan penetapan (bahasa), Syara', maupun urf. Hal-hal yang
bisa dipahami dari suatu lafadz sesuatu, baik dengan penetapan (bahasa), Syara' maupun urf
tidak dipandang sebagai mujmal. Artinya apa yang dalalah-nya berdasarkan bahasa
atau Syara' atau urf itu tidak dikategorikan sebagai sebagai mujmal. Atas dasar
ini, penggalan dan pengharaman yang di
lebalkan ada objek-objek tertentu, seperti
firmannya dalam Q.S An-nisa: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ
مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ
سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (Q.S An-nisa: 23).[2]
Dan
Q.S Al-ma'idah :3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ
تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih tidak atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-ma'idah :3)
Tidak ada mujmal di dalamnya. Sesungguhnya
setiap orang dan
sabda Rasulullah Saw. Tidak puasa orang yang puasa tidak sampai malam."
(Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Majah). Dan sabda Rasulullah Saw., "Tidak ada
nikah, kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil." (Hadis
dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni).Karena sebab-sebab beliau di atas adalah
pemahaman berdasarkan dalalah iqtidha', dalalah-nya pun jelas sesuai dengan
penetapan bahasa. Karena dalalah iqtidha' itu termasuk bagian dari adalah
lafadz dari bahasa menurut penetapan, lafaz-lafaz di atas tidak termasuk yang
mujmal.
Dengan demikian, setiap hal yang jelas
penunjukannya dengan salah satu dalalah bahasa, baik berdasarkan penetapan, urf
maupun syar'i tidak dikategorikan sebagai lafaz yang mujmal, tetapi merupakan
lafaz yang mengandung majaz. Dengan kata lain, lafaz yang dipahami melalui
qarinah, yang diperoleh dari dalalah lafaz, dalalah dari makna atau yang
lainnya. Selama hal tersebut memungkinkan atas lafadz manapun, mujmalpun di nafikan dari
lafadz tersebut.
Objek mujmal itu terbatas pada lafaz
yang terdapat dalalah baginya, namun dalalah tersebut tidak clear seperti
firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah:43
Artinya: Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.
Lafadz tersebut adalah mujmal. Adapun
apa yang diriwayatkan dari beliau SAW.
bahwa beliau mengajarkan shalat dengan perbuatan beliau ketika bersandar,
"shalatlah seperti melihat aku shalat". (Hadis dikeluarkan oleh
al-Bukhari).
Merupakan penjelasan terhadap
ke-mujmal-an tersebut. Terdapat firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah : 43 yang
artinya " tunaikanlah zakat ".
Lafadz
tersebut adalah mujmal, sedangkan apa yang terdapat pada hadits-hadits
Rasulullah Saw. Sekitar kelompok yang dikeluarkan zakatnya merupakan penjelasan
terhadap mujmal (firman Allah) tersebut. Sungguh, Rasulullah Saw bersabda,
" tidak seorangpun yang memiliki emas dan juga perak yang tidak menunaikan
dari emas dan perak tersebut haknya, kecuali pada hari kiamat kelak akan
diratakan untuknya batu dari api neraka." (Hadis dikeluarkan oleh muslim).
Jika terdapat penjelasan dengan sabda
beliau sekaligus perbuatan beliau, paduan antara sabda dan perbuatan maka itu
dikaji terlebih dahulu. Jika ada kesesuaian pada penunjukan atas hukum yang
sama, yang lebih dulu dari keduanya adalah penjelasan, baik sabda beliau maupun
perbuatan beliau. Sebab, telah diketahui apa yang dimaksudkan oleh Nash global
tersebut dan yang kedua adalah untuk memperkuat. Akan tetapi, apabila ada
perbuatan dalam dalalah
atas suatu hukum, sebagaimana yg diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Bahwa
beliau, setelah turunnya ayat haji, bersabda, " barang siapa berhaji
dengan haji qaran lalu umrah, hendaknya dia thawaf satu kali".
Namun, diriwayatkan dari Rasulullah SAW.
Bahwa beliau berhaji dengan haji qaran, tetapi beliau thawaf dua kali dan
mengerjakan sa'i dua kali. Dalam keadaan ini, perlu dikaji terlebih dahulu.
Apabila tidak diketahui mana yang lebih dulu dari keduanya, apakah sabda beliau
atau perbuatan beliau, yang diambil adalah sabda beliau. Sebab, perkataan itu
ditunjukkan penjelasan berbeda dengan perbuatan. Perbuatan tidak dapat
menunjukkan posisinya sebagai penjelas. Untuk menunjukkan dirinya sebagai yang
menjelaskan dibutuhkan sarana. Oleh karena itu, keberadaan perbuatan itu
diketahui sebagai penjelas atas yang
global melalui salah satu dari tiga hal. Pertama, perbuatan tersebut diketahui
dengan mudah dari apa yang dimaksud. Artinya, bahwa perbuatan tersebut tidak
akan sempurna keberadaanya sebagai penjelas tanpa diikuti dengan pengetahuan
secara dzaruri atas yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan penjelasan di
dalamnya. Kedua, Rasulullah Saw bersabda bahwa perbuatan tersebut merupakan
penjelasan untuk yang global. Ketiga, beliau menyebut yang mujmal saat
memerlukan untuk mengerjakan yang mujmal tersebut. Lalu, beliau mengerjakan
Secara riil perbuatan tersebut sebagai penjelas bagi yang global dan beliau
tidak mengerjakan pekerjaan yang lain. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa
perbuatan tersebut adalah penjelasan baik yang global.
Namun, apabila di ketahui bahwa salah
satu nya lebih dahulu dari yg lain, dikaji terlebih dahulu. Jika perkataan
terlebih dahulu (dari perbuatan), thawaf yang kedua memang tidak wajib dan
perbuatan Rosul Tersebut harus mengandung pengertian sebagai yang mandub. Akan
tetapi, apa bila yang lebih dulu perbuatan, perkataan tersebut merupakan naskah
atas wajib nya thawaf yg kedua yang telah ditunjuk oleh perbuatan beliau atau
perbuatan rasul tersebut mengandung penjelasan (bayan) wajibnya thawaf yang
kedua khusus untuk beliau dan bukan untuk umat beliau.
Mujmal
adalah lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang
terkumpul di dalamnya atau sesuatu yang tersembunyi yang dikehendaki karena
banyak makna dan tidak bisa diketahui kalau tidak melalui penjelasan. Lafal yang tidak dapat
menunjukkan terhadap maksudnya melalui sighat nya, tidak ada qorinah lafzhiyyah
(tekstual) atau qorinah haliyyah (kontekstual) yang menjelaskannya. Atau lafal
yang tidak terang arti yang dimaksudkan, oleh karena keadaan lafal itu sendiri,
dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan kecuali dengan adanya
penjelasan dari Syara'.
Jadi dalam kesamaran adalah bersifat
lafal (tekstual), bukan hal yang datang kemudian.
Diantara mujmal adalah lafal yang ghorib (asing) yang di tafsirkan oleh Nash
sendiri dengan makna khusus, seperti lafal " al-qari'ah" dalam firman
Allah SWT yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah (2) : 43).
Apabila terhadap lafal mujmal itu
mendapat penjelasan dari Syara' Secara sempurna maka mujmal menjadi mufassar.
Ayat di atas di jelaskan melalui hadis nabi baik dengan perkataan maupun
perbuatan yang menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan
caranya. Rasulullah saw.bersabda yang artinya "salatlah seperti kamu
melihat aku melakukan salat" ( HR. Bukhari ).
Karena lafal mujmal mendapat penjelasan
dari Syara' tetapi tidak secara sempurna dan pasti makna masih perlu ijtihad
untuk menjelaskannya. Jika demikian yang terjadi, mujmal menjadi musyikil.
Sebagai contoh lafal "Arribaa"
dalam ayat Q.S Al-Baqarah (2) : 275). Artinya " dan mengharamkan
riba".
Dalam masalah ini, maka lafal "
Arribaa " di jelaskan dalam hadis
yang artinya " emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semuanya harus sama
ukurannya dan harus berhadap muka.
(HR.muslim
dari Ubaidilah bin shamit Ra.) Akan tetapi hadits di atas tidak menjelaskan secara
sempurna dan pasti arti ribba itu sendiri, sehingga masih memerlukan ijtihad.
B. Pengertian Mubayyan
Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang
dijelaskan, secara istilah
berarti
lafaz yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah
dijelaskan oleh lainnya. AI Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya
ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal.[4]
Bayan
adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk samar menjadi bentuk yang jelas. Dengan
kata lain, bayan adalah bentuk ilmu (suatu yang pasti) atau dan (dugaan yang
kuat) yang dihasilkan dari suatu dalil. Oleh karena itu, sebagian ulama' usul
fiqh mengkonvensikan bahwa bayan adalah dalil itu sendiri. Yang terdapat dalam
Q.S Al-Baqarah:43 yang artinya "dan laksana kan shalat". [5]
1. Pembagian Mubayyan
a. Mubayyan
Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash.
Misalnya dalam Al-Qur'an Surat An Nisa’ (4) : 176, artinya
“Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kaIaIah (yaitu):
jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang Iaki-Iaki mengusaisai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki
dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara Iaki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ (4) :
176) Lafaz “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah, ( yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang
Iaki-Iaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak, tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang
meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-Iaki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara Iaki-Iaki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang meninggal
dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin
Khtattab, yang meyatakan: “Kalalah adalah orang yangtidak mempunyai anak.”
Mubayyan
Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat
dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil
mujmal.
b.
Macam-macam Mubayyan
1)
Bayan Perkataan.
Penjelasan dengan
perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 196: ”dan sempurnakanlah
ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh
atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada
di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka
wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika
ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah)
bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Baqarah ayat
196).
Ayat tersebut merupakan bayan
(penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti
korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang
yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
Tidak ada mujmal di dalamnya.
Sesungguhnya setiap orang yang meneliti konvensi para pemilik bahasa dan
mengurus lafa-lafal
bahasa Arab, tidak secara spontan dapat memahami ketika ada yang berkata pada
yang lain, "diharamkan atas kalian makanan dan minuman dan diharamkan atas
kalian wanita," selain pengharaman makan dan minuman, makanan dan minuman
serta pengharaman berhubungan seksual dengan wanita. Oleh karena itu, pada
dasarnya pada setiap hal yang langsung bisa dipahami adalah makna hakiki, baik
berdasarkan penetapan (secara bahasa) maupun berdasarkan kebiasaan dalam
pemakaian, yaitu pemahaman orang yang mencermati bahasa yang terbiasa dengan
lafal-lafal (bahasa) Arab.
Karena itu, makna "hurrimat"
disini jelas dan lafal
hurrimat memang menunjukkan pada hal tertentu. Sesungguhnya firman Allah dalam
Q.S Al-ma'idah:6 artinya
“dan sapulah kepalamu”. Tidak ada mujmal di
dalamnya, karena "baa" di sini adalah untuk meletakan, ayat tersebut
tidak mengharuskan adanya kewajiban membasuh kepala secara keseluruhan karena
perkataan biji barashun (padanya ada lepra) atau bihi da'un (padanya ada
penyakit) tidak mengharuskan bahwa lepra tersebut meliputi seluruh badannya
atau penyakit tersebut meliputi seluruh badannya.
Demikian pula, dengan usaplah kepalamu
itu bukan berarti mengharuskan mengusap semua kepala. Terlebih lagi, bahwa
pemakaian orang Arab terjadi dengan mengharuskan melekatkan mengusap saja tanpa
memperhatikan apakah secara keseluruhan atau sebagian. Oleh karena itu, apabila
ada orang yang perkataan pada orang lain,
”usaplah tangan mu dengan sapu tangan,” tidak satupun pemilik
bahasa memahami bahwa dia mengharuskan untuk melekatkan tangannya dengan semua
(bagian) sapu tangan, tetapi cukup dengan sapu tangan saja. Jika mau, dengan
semuanya dan bisa juga dengan sebagian sapu tangan saja. Demikian pula, tidak
ada mujmal, pada sabda
Rasulullah Saw,. “Sesungguhnya
Allah itu telah menetapkan atas ummatku kesalahan dan lupa”. ( Hadis dikeluarkan
oleh Ibnu Majah).
2) Bayan
Perbuatan.
Penjelasan dengan
perbuatan (bayan fi’li) Contohnya Rasulullah SAW.
melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu
yakni: memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah SAW. mempraktekkan
cara-cara haji, shalat dan sebagainya.
3)
Bayan Isyarat.
Penjelasan
dengan perkataan dan perbuatan sekaligus
Firman
Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 43:
“.
. .dan dirikanlah shalat. . .” (QS. Al-Baqarah : 43)
Perintah
mendirikan shalat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara shalat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan shalat hingga sempurna, lalu
bersabda: “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhari).
4)
Bayan dengan Tulisan.
Penjelasan dengan tulisan Penjelasan
tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan cara menulis
surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan
dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5) Bayan
dengan Isyarat.
Penjelasan dengan isyarat contohnya
seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya
dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.
6)
Bayan dengan
Meninggalkan Perbuatan.
Penjelasan
dengan meninggalkan perbuatan
contohnya seperti Qunut pada shalat.
Qunut pernah dilakukan
oleh Rasulullah Saw dalam waktu yang
relative lama, yaitu kurang
lebih satu bulan
kemudian beliau meninggalkannya.
7)
Bayan dengan
Taqrir/tidak melarang/Diam.
Penjelasan
dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah SAW. Melihat suatu kejadian, atau Rasulullah
Saw mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah SAW. mendiamkannya (tidak mengomentari
atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah Saw tidak melarangnya. Kalau
Rasulullah Saw diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah Saw
masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
BAB III
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
1.
Mujmal
Secara bahasa mujmal
berarti samar-samar dan beragam atau majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang
belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada
keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafaz yang
global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
2.
Mubayyan
Mubayyan artinya yang
ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafaz yang dapat
dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya.
AI Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal
atau susunan yang mujmal.
A.
Saran
Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat mengetahui materi
yang telah tertulis diatas tersebut yaitu mengenai tentang mujmal dan mubayyan
Selain dari pada itu, penulis memohoh maaf apabila terdapat
kesalahan karena kami masih dalam proses pembelajaran. Dan yang kami harapkan
dengan adanya makalah ini, dapat menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca
dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.
No comments:
Post a Comment