Sejarah
prostitusi
Beberapa hari ini public diramaikan dengan
pemberitaan ditangkapnya seorang artis/aktris berinisial VA dalam sebuah
kegiatan prostitusi. Apasih prostitusi itu?
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) prostitusi
adalah pertukaran hubungan
seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan pelacuran.
Bila
kita berbicara mengenai prostitusi, gagasan bahwa " prostitusi adalah
profesi tertua dalam kebudayaan manusia "seringkali muncul dalam berbagai
pembahasan. Namun apakah anggapan ini memang demikian benar? Apakah prostitusi
juga sudah ada dalam peradaban purba kita?
Sebuah
artikel yang ditulis oleh Forrest Nickman dalam Slate.com pada
6 Maret 2012, mengatakan, berdasarkan keterangan antropolog University of
Chicago, Don Kullick, bahwa prostitusi memang sudah ada sejak awal peradaban
manusia, tetapi belum bisa dipastikan apakah hal ini memang menjadi profesi
tertua?
Salah
satu bukti bahwa prostitusi sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu adalah
naskah-naskah yang menyebutkan bahwa tentara Israel memiliki banyak istri dan
selir, Raja Solomon dikenal memiliki 700 istri dan 3.000 selir (wanita yang
diikat oleh raja namun tidak berstatus istri), dan pada masa Romawi Kuno, orang
sudah bisa membeli seks dengan koin.
Walaupun
memang seakan tergambar bahwa prostitusi sudah ada sejak lama, tetapi
prostitusi dengan konsep menjajakkan diri di sepanjang jalan atau dulu dikenal
dengan Gang Dolly sejak masa Ratu Victoria di Inggris. Bahkan saat itu
prostitusi disebut sebagai penyebab mewabahnya penyakit menular seksual.
“Frasa
"prostitusi profesi tertua" sendiri sebenarnya muncul pada akhir tahun
1800-an. Namun sayangnya frasa yang kerap diucapkan saat ini muncul dari
kesalahan mengutip, bukan didasarkan atas riset ilmiah atau bukti sejarah.
Pada
tahun 1888, Rudyard Kipling menulis sebuah artikel mengenai prostitusi. Artikel
tersebut dimulai dengan kalimat, "Lalun adalah anggota dari profesi paling
tua di dunia."
Sedangkan Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan "terhadap kesusilaan/moral" dan
melawan hukum. Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas,
ditoleransi, dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling
tampak, seringkali diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga
dikenal dengan nama "lokalisasi", serta dapat ditemukan di seluruh
negeri. Bordil ini
dikelola di bawah peraturan pemerintah daerah UNICEF memperkirakan bahwa 30 persen pelacur
perempuan di Indonesia adalah wanita yang berusia dibawah 18 tahun. Wisata
seks anak juga
menjadi masalah, khususnya di pulau-pulau resor seperti di Bali dan Batam.
Penyebab
terjadinya prostitusi itu dilakukan salah satu alasan utama untuk seorang pelacur untuk memasuki bisnis adalah
daya tarik untuk mendapatkan uang secara cepat. Dan penyebab utama lainnya adalah adanya pola
pemaksaan dan penipuan, dimana para perempuan muda dari pedesaan dan kota-kota
kecil ditawarkan peluang kerja di kota-kota besar. Namun sesampainya dikota
para perempuan ini diperkosa dan dipaksa untuk melacurkan diri sementara
menghasilkan uang bagi mucikari (orang yang berperan sebagai
pengasuh, perantara atau pemilik pekerja seks komersial) mereka. Sering pula para orang tua menawarkan
anak-anak perempuan mereka kepada mucikari agar memperoleh uang. Berdasarkan
laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) bahwa sekitar 70 persen dari pelacur anak
Indonesia dibawa oleh keluarga dekat atau teman-teman ke dalam dunia
prostitusi.
The Jakarta Post
melaporkan bahwa pelacur kelas atas di Jakarta bisa mendapatkan Rp 15 juta - Rp 30 juta per
bulan. Rata-rata para pelacur ini mampu menghasilkan uang lebih dari Rp 3 juta
untuk setiap sesi layanan mereka. Namun bagian terbesar dari jumlah mereka yang memasuki
dunia prostitusi dengan alasan uang datang dari masyarakat kelas menengah dan
keluarga miskin.
sejarah yang
mengungkap tentang prostitusi Indonesia pada masa sebelum penjajahan bangsa
Eropa. Diperkirakan sejak lama telah berlangsung pembelian budak seks dan
hubungan seksual yang dilandasi hubungan yang semu lazim terjadi. Pada masa
tersebarnya agama Islam setelah penyebaran Islam di Indonesia, prostitusi
diperkirakan telah meningkat karena ketidak setujuan Islam
pernikahan kontrak. Dalam sejarahnya raja-raja di Jawa yang memiliki
sejumlah tempat diistananya untuk ditempati sejumlah besar selir, sementara itu
raja-raja di Bali bisa melacurkan para janda yang tidak lagi diterima oleh
keluarganya.
Selama periode
awal kolonial Belanda, pria Eropa yang hendak memperoleh kepuasan seksual mulai
mempekerjakan pelacur atau selir yang berasal dari wanita lokal. Para perempuan
lokal dengan senang hati melakoni aksi prostitusi ini demi termotivasi oleh
masalah finansial, bahkan tak jarang ada keluarga, yang mengajukan anak
perempuan mereka untuk dilacurkan. Aturan tentang larangan pernikahan antar ras
oleh penguasa kolonial membuat praktik prostitusi adalah hal yang paling bisa
diterima oleh para pemimpin Belanda.
Pada awal tahun
1800-an praktik prostitusi mulai meluas, ketika itu jumlah selir dipelihara
oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda dan pejabat pemerintah menurun. Sementara
perpindahan laki-laki pribumi meninggalkan istri dan keluarga mereka untuk
mencari pekerjaan di daerah lain juga memberikan kontribusi besar bagi maraknya
praktik prostitusi pada masa itu. Pada tahun 1852 pemerintah kolonial
mulai membutuhkan pemeriksaan kesehatan secara teratur pelacur untuk
memeriksa sifilis (infeksi menular seksual yang dibebaskan oleh bakteri spiroset
treponema pallidums sub-spesies pallidum) dan penyakit kelamin lainnya. Para pelacur juga diharuskan membawa
kartu identitas pekerjaan mereka, meskipun kebijakan ini tidak berhasil menekan
angka pertumbuhan prostitusi yang meningkat secara dramatis selama periode
pembangunan yang berlangsung secara luas hingga akhir 1800.
Sumber:
http://jogja.tribunnews.com/2019/01/07/benarkah-prostitusi-adalah-profesi-tertua-dalam-kebudayaan-manusia
No comments:
Post a Comment